Sejarah Awal Penetapan Tahun Hijriah

Peredaran bulan
sumber photo: Di Sini

Tatkala Ya’la bin Umayah menjadi gubernur di Yaman pada zaman khalifah Abu Bakar, ia pernah melontarkan gagasan tentang perlunya kalender Islam yang akan dipakai sebagai patokan penanggalan. Pada waktu itu, catatan yang dipergunakan kaum muslim belum seragam. Ada yang memakai tahun gajah (‘amul fil), terhitung sejak raja Abrahah dari Yaman menyerang Kabah (yang secara kebetulan adalah tanggal kelahiran Nabi saw.); ada yang mendasarkan pada peristiwa-peristiwa yang menonjol dan berarti yang terjadi di zaman mereka. Misalnya, tahun pertama hijrah Nabi dinamakan tahun al-Izn, karena izin hijrah diberikan  pada tahun itu. Tahun kedua disebut tahun Amr, karena pada tahun itu Allah swt. telah memberikan perintah kepada kaum Muslim untuk bertempur untuk melawan kaum musyrik Mekah.

Akan tetapi, realisasi tentang penetapan penanggalan yang dipakai oleh umat Islam barulah terjadi di zaman Khalifah Umar. Menurut keterangan al-Biruni, khalifah menerima sepucuk surat dari Abu Musa al-Asy’ari yang menjadi gubernur di Bashrah (Irak), isinya menyatakan, “Kami telah banyak menerima surat dari Amirul Mu’minin, dan kami tidak tahu mana yang harus dilaksanakan. Kami sudah membaca satu perbuatan yang bertanggal sya’ban, namun kami tidak tahu sya’ban mana yang maksud. Sya’ban sekarang atau sya’ban mendatang di tahun depan?”

Surat Abu Musa rupanya dirasakan oleh Khalifah Umar sebagai sindiran halus tentang perlunya ditetapkan satu penanggalan (kalender) yang seragam, yang dipergunakan sebagai tanggal, baik di kalangan pemerintahan maupun untuk keperluan umum.

Untuk menetapkan momentum apa yang sebaiknya dipergunakan dalam menentukan permulaan tahun Islam itu, Khalifah mengadakan musyawarah dengan semua ulama dan para tokoh muslim. Dalam pertemuan itu ada empat usul yang dikemukakan, yaitu:

1. Dihitung dari kelahiran Nabi Muhammad saw.;
2. Dihitung dari wafat Rasulullah saw.;
3. Dihitung dari hari Rasulullah menerima wahyu pertama di gua Hira yang merupakan awal tugas risalah kenabian;
4. Dihitung mulai dari tanggal dan bulan Rasulullah melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah (usul yang yang terakhir ini diajukan oleh Ali bin Abu Thalib).

Tetapi baik kelahiran Nabi, maupun permulaan risalah kenabian tidak diambil sebagai awal penanggalan Islam, karena tanggal-tanggal tersebut menimbulkan kontroversi mengenai waktu yang pasti dari kejadian-kejadian itu. Hari wafat Nabi juga tidak berhasil dijadikan tanggal permulaan kalender, karena dipertautkan dengan kenang-kenangan menyedihkan pada hari wafatnya. Besar kemungkinan nanti akan menimbulkan perasaan-perasaan sedih dan sendu dalam kalbu  kaum muslim. Akhirnya, disetujuilah agar penanggalan Islam ditetapkan berdasarkan hijrah Rasul dari Mekah ke Madinah.

Kapankah tepatnya beliau hijrah ke Madinah? Beragam informasi dijumpai pada kitab-kitab tarikh tentang peristiwa itu. Imam at-Thabari dan Ibnu Ishaq menyatakan, “Sebelum sampai di Madinah (waktu itu bernama Yatsrib), Rasulullah saw. singgah di Quba pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal tahun 13 kenabian/24 September 622 M  waktu Dhuha (sekitar jam 8.00 atau 9.00). Di tempat ini, beliau tinggal di keluarga Amr bin Auf selama empat hari (hingga hari Kamis 15 Rabi’ul Awwal/27 September 622 M. dan membangun mesjid pertama (yang disebut mesjid Quba). Pada hari Jumat 16 Rabi’ul Awwal/28 September 622 M, beliau berangkat menuju Madinah. Di tengah perjalanan, ketika beliau berada di Bathni wadin (lembah di sekitar Madinah) milik keluarga Banu Salim bin ‘Auf, datang kewajiban Jumat (dengan turunnya ayat 9 surat al-Jum’ah). Maka Nabi salat Jumat bersama mereka dan khutbah di tempat itu. Inilah salat Jumat yang pertama di dalam sejarah Islam. Setelah melaksanakan salat Jumat, Nabi melanjutkan perjalanan menuju Madinah”. (Lihat,Tarikh at-Thabari, I:571; Sirah Ibnu Hisyam, juz III, hal. 22; Tafsir al-Qurthubi, juz XVIII, hal. 98).

Keterangan di atas menunjukkan bahwa Nabi tiba di Madinah pada hari Jumat 16 Rabi’ul Awwal/28 September 622 M. Sedangkan ahli tarikh lainnya berpendapat hari Senin 12 Rabi’ul Awwal/5 Oktober 621 M, namun ada pula yang menyatakan hari Jumat 12 Rabi’ul Awwal/24 Maret 622 M.

Terlepas dari perbedaan tanggal dan tahun, baik hijriah maupun masehi, namun para ahli tarikh semuanya bersepakat bahwa hijrah Nabi terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal, bukan bulan Muharram (awal Muharram ketika itu jatuh pada tanggal 15 Juli 622 M).

Ketika para sahabat sepakat menjadikan hijrah Nabi sebagai permulaan kalender Islam, timbul persoalan lain di kalangan mereka tentang permulaan bulan pada kalender itu. Ada yang mngusulkan Rabi’ul Awwal (sebagai bulan hijrahnya Rasulullah saw. ke Madinah). Namun ada pula yang mengusulkan bulan Muharram. Namun akhirnya Umar memutuskan bahwa tahun 1 Islam/Hijriah di awali dengan 1 Muharram bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622 M. Dengan demikian, antara permulaan hijrah Nabi dan permulaan kalender Islam sesungguhnya terdapat jarak sekitar 82 hari.

Peristiwa penetapan kalender Islam oleh Umar ini terjadi pada hari Rabu, dua puluh hari sebelum berakhirnya Jumadil Akhir, tahun ke-17 sesudah hijrah atau pada tahun ke-4 dari kekhalifahan Umar bin Khatab. (Lihat, tulisan Dr. Thomas Djamaluddin tentang “Kalender Hijriah” dalam buku Almanak Alam Islami, hal. 183-184, dan Makalah tentang “Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriah”)

Posted by
Unknown

More

Lunar Moon

Lunar Moon
Sumber photo: www.id.wikipedia.org

Posted by
Unknown

More

Ketika Kemiskinan Jadi Pilihan

Ketika Kemiskinan Jadi Pilihan

Oleh Purnawarman

Yang paling kusuka dari kunjungan ke rumah-rumah teman terdekatku adalah ketika menghadapi orang tua mereka yang menyambutku dengan welcome. Terlebih lagi kalau orang tuanya itu suka berbincang. Alasan pokoknya mungkin selain karena saya termasuk tipikal orang yang suka ngobrol, saya juga telah merasakan banyak manfaat dari obrolan dengan para orang tua itu. Meski kata-kata mereka cukup sederhana, tanpa ada istilah-istilah ilmiah ataupun teori yang rumit, dengan tema perbincangan yang sederhana pula, setidaknya pengalaman dan rekam jejak perjuangan mereka selama hidupnya bagi saya sangat berarti untuk jadi bahan tambahan wawasan dalam mengenal lebih jauh lagi pola kehidupan ini; etika, pemikiran, perjuangan, juga pola bermasyarakat. Bahkan terkadang saya juga mencuri-curi metode komunikasi dari antara waktu perbincangan tersebut. Karena memang tidak mudah menumbuhkan seni berkomunikasi hingga orang yang diajak ngobrol oleh kita merasa nyaman sampai betah berlama-lama mengobrol. Dengan seni komunikasi itu pula kita bisa mengorek sisi kepribadian dan bertukar pikiran hingga mereka tidak merasa sedang ditelanjangi ataupun digurui.

Itu pula yang saya alami dan jalankan ketika melakukan kunjungan ke salah seorang keluarga teman saya, minggu-minggu kemarin. Hingga dari pertemuan dan perbincangan dengan keluarga teman tersebut, saya mendapatkan pelajaran hidup yang sangat berarti untuk direnungkan serta di hayati sampai bisa ditindak lanjuti dengan pengamalan di kehidupan saya sehari-hari.

Selintas, apa yang dibicarakan orang tua tersebut seakan tidak lah begitu banyak arti, bahkan terkesan hanya sebuah luapan apologi saja. Namun karena keganjilan dan kenyelenehan ungkapannya itu mungkin hingga membuat saya merasa tertarik untuk mempertimbangkannya kembali. Kesan hanya sebuah kategori apologi itu muncul dari apa yang dia ungkapkan seakan membela diri atas kekurangan yang dia alami. Kondisi ekonominya yang serba pas-pasan seakan dicari dalih untuk tidak dipandang orang sebagai kehinaannya atau dampak dari kekurangannya. Jujur saja saya sempat berburuk sangka dibuatnya. Namun setelah saya pertimbangkan berbagai sisi potensi orang tua tersebut dengan kondisi yang ada sekitar kehidupannya, saya mendapatkan kecenderungan bahwa apa yang dia nyatakan mendekati pada luapan suara hatinya yang penuh ketulusan.

Orang tua tersebut, meski dunia pendidikannya hanya bisa dialami sampai kelas tiga Sekolah Dasar saja, ia memiliki keahlian yang didapatnya dari kerja autodidak. Keahliannya itu bahkan sudah banyak diacungi jempol hingga hampir semua tetangga sekampungnya menjadi pelanggan setia jasa keahliannya. Secara peluang, kerja yang digelutinya pun sebetulnya masih terbuka lebar, dan beliau menyadari hal itu. Bagi beliau, mengembangkan usahanya menjadi sebuah usaha yang besar bukanlah persoalan mustahil, bahkan banyak pula tawaran kerja dengan upah besar pula jika beliau bersedia jadi pegawai. Namun semua itu beliau tidak wujudkan. Alasan pokoknya, lanjut beliau, lantaran ketakutannya sendiri yang tidak memiliki kemampuan atau lebih tepatnya keahlian baginya dalam mengurus keluarga dalam kondisi bergelimang harta. Situasi keluarganya semenjak kecil membesarkan dia adalah kondisi miskin atau serba biasa. Dengan kondisi itu beliau merasa tidak memiliki wawasan dan keahlian menghadapi kondisi hidup kaya raya. Ia takut akibat ketidak mampuannya itu malah membuat kehancuran keluarganya.

Kondisi yang dialami oleh para tetangganya yang pola hidup anak-anak bahkan istrinya terjebak dalam gaya hidup hedonis dan jauh dari moralitas keislaman, cukup membuat si bapak itu merasa getir dan ketakutan. Bahkan beliau sangat miris apabila melihat sebuah keluarga yang ditinggal mati orang tuanya malah saling bertengkar hebat lantaran persaingan mendapatkan harta warisan. Dampak-dampak negative dari kekayaan tersebut baginya menjadi sebuah persoalan yang patut untuk dipertimbangkan jika kita menghendaki menjalani hidup bergelimang harta. Dan bagi beliau, ketakutan bagi dirinya cukup untuk mengambil langkah diam ketimbang memaksakan sesuatu yang bisa jadi tidak mampu untuk dihadapinya atau bahkan hanya akan menjadi jurang yang membahayakannya.

Dengan sikap hidup yang penuh pertimbangan, dan kesadaran akan setiap konsekuensi yang pasti muncul dari keputusan yang diambilnya, menjadikan seorang bapak yang jadi teman ngobrol saya itu merasakan hidup penuh kebahagiaan dan ketenangan meski kondisi hidup yang dijalaninya ada dalam tarap serba pas-pasan atau boleh dibilang miskin. Dan jika atas dasar landasan niat yang tulus ingin semaksimal mungkin menjaga kondisi kepemimpinannya dalam membina keluarga dan generasi yang dimilikinya itu, mungkinkah sebuah kehinaan patut dipandangkan kepadanya, semntara orang-orang kaya di luaran sana banyak merauk kekayaan hanya berdasarkan kehendak memenuhi keinginan dan nafsu yang sama sekali menghiraukan konsekuensi dan eksistensinya? Pertanyaan ini setidaknya cukup bagi saya untuk tidak segampang membalikkan tangan dalam menyikapi kondisi seseorang terlebih meremehkannya hanya lantaran kondisi ekonominya. Di samping itu, saya juga mendapat gambaran nyata akan ketidak mungkinan berhasilnya usaha sebagian orang yang menginginkan hilangnya kamus kemiskinan hanya dengan memperhatikan perkembangan ekonomi atau lapangan pekerjaan semata, sebab di hujung sana nyatanya ada factor lain selain persoalan tekanan ekonomi yaitu tekanan batin dan pilihan hidup seseorang.

Posted by
Unknown

More

Bismillahi ar-Rahmaani ar-Rahiemi. Kata Perdana

Teriring ucap Bismillah dan Alhamdulillah, saya awali kaki melangkah, mata terbuka, hati merasa, paru memopa, di atas hamparan niyat lillahi ta'ala, di bawah naungan harapan rahmat dan hidayah-Nya. Aku awali hari dengan berenang di pinggir samudera kehidupan. Aku belajar menyelam ke dasar makna kedalaman. Aku meronta lompat ke atas permukaan.

Photo Danau Selaawi, Sukabumi, By Saeful
Aku yang meronta lompat penuh darah dan air mata, memaksa keluar telanjang dari balutan rahim yang memanjakan. Bukan aku tak senang dalam kelambu rahim. Bukan pula karena aku bosan dalam keamanan penjagaan-Nya. Tantangan dan usaha dalam kondisi rahman yang butuh perjuangan dan pengorbanan setidaknya menjadi magnet besar yang menarik aku untuk menjejal segala kemampuan dan kekuatan yang dianugerahkan. Bumi telah menjadi tantangan menggiurkan bagiku untuk menyelesaikan setiap persoalannya.

Maka dari telanjang, biarkan aku mencari pakaian, dari menangis itu biarkan aku rubah jadi segores senyum atau selebar tawa. Biarkan aku coba buka kembali pintu rahim dengan usaha mengumpulkan kunci rahman yang Dia tebar pada satu jalan yang lurus. 

Kini aku ada dalam Institut Kehidupan. Merauk ilmu yang kitab-kitab untuk menampungnya hanya sebesar butir pasir, dan tintanya sebulir uap tak terlihat. Biar saja kucoba melahap. Biarkan aku awali kehidupan. Biarkan kulukis indah ceritanya dengan seni tinta yang berwarna mempesona. Institut Kehidupan yang lulus menorehkan gelar al-Marhum dan al-Marhumah di depan dan belakangnya. 

Posted by
Unknown

More

Copyright © / Institut Kehidupan

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger