Ketika Kemiskinan Jadi Pilihan

Ketika Kemiskinan Jadi Pilihan

Oleh Purnawarman

Yang paling kusuka dari kunjungan ke rumah-rumah teman terdekatku adalah ketika menghadapi orang tua mereka yang menyambutku dengan welcome. Terlebih lagi kalau orang tuanya itu suka berbincang. Alasan pokoknya mungkin selain karena saya termasuk tipikal orang yang suka ngobrol, saya juga telah merasakan banyak manfaat dari obrolan dengan para orang tua itu. Meski kata-kata mereka cukup sederhana, tanpa ada istilah-istilah ilmiah ataupun teori yang rumit, dengan tema perbincangan yang sederhana pula, setidaknya pengalaman dan rekam jejak perjuangan mereka selama hidupnya bagi saya sangat berarti untuk jadi bahan tambahan wawasan dalam mengenal lebih jauh lagi pola kehidupan ini; etika, pemikiran, perjuangan, juga pola bermasyarakat. Bahkan terkadang saya juga mencuri-curi metode komunikasi dari antara waktu perbincangan tersebut. Karena memang tidak mudah menumbuhkan seni berkomunikasi hingga orang yang diajak ngobrol oleh kita merasa nyaman sampai betah berlama-lama mengobrol. Dengan seni komunikasi itu pula kita bisa mengorek sisi kepribadian dan bertukar pikiran hingga mereka tidak merasa sedang ditelanjangi ataupun digurui.

Itu pula yang saya alami dan jalankan ketika melakukan kunjungan ke salah seorang keluarga teman saya, minggu-minggu kemarin. Hingga dari pertemuan dan perbincangan dengan keluarga teman tersebut, saya mendapatkan pelajaran hidup yang sangat berarti untuk direnungkan serta di hayati sampai bisa ditindak lanjuti dengan pengamalan di kehidupan saya sehari-hari.

Selintas, apa yang dibicarakan orang tua tersebut seakan tidak lah begitu banyak arti, bahkan terkesan hanya sebuah luapan apologi saja. Namun karena keganjilan dan kenyelenehan ungkapannya itu mungkin hingga membuat saya merasa tertarik untuk mempertimbangkannya kembali. Kesan hanya sebuah kategori apologi itu muncul dari apa yang dia ungkapkan seakan membela diri atas kekurangan yang dia alami. Kondisi ekonominya yang serba pas-pasan seakan dicari dalih untuk tidak dipandang orang sebagai kehinaannya atau dampak dari kekurangannya. Jujur saja saya sempat berburuk sangka dibuatnya. Namun setelah saya pertimbangkan berbagai sisi potensi orang tua tersebut dengan kondisi yang ada sekitar kehidupannya, saya mendapatkan kecenderungan bahwa apa yang dia nyatakan mendekati pada luapan suara hatinya yang penuh ketulusan.

Orang tua tersebut, meski dunia pendidikannya hanya bisa dialami sampai kelas tiga Sekolah Dasar saja, ia memiliki keahlian yang didapatnya dari kerja autodidak. Keahliannya itu bahkan sudah banyak diacungi jempol hingga hampir semua tetangga sekampungnya menjadi pelanggan setia jasa keahliannya. Secara peluang, kerja yang digelutinya pun sebetulnya masih terbuka lebar, dan beliau menyadari hal itu. Bagi beliau, mengembangkan usahanya menjadi sebuah usaha yang besar bukanlah persoalan mustahil, bahkan banyak pula tawaran kerja dengan upah besar pula jika beliau bersedia jadi pegawai. Namun semua itu beliau tidak wujudkan. Alasan pokoknya, lanjut beliau, lantaran ketakutannya sendiri yang tidak memiliki kemampuan atau lebih tepatnya keahlian baginya dalam mengurus keluarga dalam kondisi bergelimang harta. Situasi keluarganya semenjak kecil membesarkan dia adalah kondisi miskin atau serba biasa. Dengan kondisi itu beliau merasa tidak memiliki wawasan dan keahlian menghadapi kondisi hidup kaya raya. Ia takut akibat ketidak mampuannya itu malah membuat kehancuran keluarganya.

Kondisi yang dialami oleh para tetangganya yang pola hidup anak-anak bahkan istrinya terjebak dalam gaya hidup hedonis dan jauh dari moralitas keislaman, cukup membuat si bapak itu merasa getir dan ketakutan. Bahkan beliau sangat miris apabila melihat sebuah keluarga yang ditinggal mati orang tuanya malah saling bertengkar hebat lantaran persaingan mendapatkan harta warisan. Dampak-dampak negative dari kekayaan tersebut baginya menjadi sebuah persoalan yang patut untuk dipertimbangkan jika kita menghendaki menjalani hidup bergelimang harta. Dan bagi beliau, ketakutan bagi dirinya cukup untuk mengambil langkah diam ketimbang memaksakan sesuatu yang bisa jadi tidak mampu untuk dihadapinya atau bahkan hanya akan menjadi jurang yang membahayakannya.

Dengan sikap hidup yang penuh pertimbangan, dan kesadaran akan setiap konsekuensi yang pasti muncul dari keputusan yang diambilnya, menjadikan seorang bapak yang jadi teman ngobrol saya itu merasakan hidup penuh kebahagiaan dan ketenangan meski kondisi hidup yang dijalaninya ada dalam tarap serba pas-pasan atau boleh dibilang miskin. Dan jika atas dasar landasan niat yang tulus ingin semaksimal mungkin menjaga kondisi kepemimpinannya dalam membina keluarga dan generasi yang dimilikinya itu, mungkinkah sebuah kehinaan patut dipandangkan kepadanya, semntara orang-orang kaya di luaran sana banyak merauk kekayaan hanya berdasarkan kehendak memenuhi keinginan dan nafsu yang sama sekali menghiraukan konsekuensi dan eksistensinya? Pertanyaan ini setidaknya cukup bagi saya untuk tidak segampang membalikkan tangan dalam menyikapi kondisi seseorang terlebih meremehkannya hanya lantaran kondisi ekonominya. Di samping itu, saya juga mendapat gambaran nyata akan ketidak mungkinan berhasilnya usaha sebagian orang yang menginginkan hilangnya kamus kemiskinan hanya dengan memperhatikan perkembangan ekonomi atau lapangan pekerjaan semata, sebab di hujung sana nyatanya ada factor lain selain persoalan tekanan ekonomi yaitu tekanan batin dan pilihan hidup seseorang.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © / Institut Kehidupan

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger